Alief Irfan SMO 1

 HIKAYAT KELAM

Oleh: Alief Irfan (SMO 1)

(Jangan dibaca kalau sampean tidak punya waktu luang, karena tulisan ini berpotensi menyesatkan. Bacalah sampai hikmah. Awali dengan basmalah)

Layaknya seorang anak kecil yang menimang angannya begitu tinggi – itulah aku.
Hamparan masa depan yang beragam, mimpi dan rencana-rencana yang menyambangiku setiap malam. Jalan begitu bercabang dan tak pernah ada satu pun yang memiliki ujung.

Hingga aku menyadari bahwa aku hanya sebatas asa tanpa usaha.
Masa kecilku rasanya begitu serakah mimpiku beragam bergantung pada siapa aku habis bertemu. cita-citaku bergantung pada filem apa yang selesai kutonton.

Ah, aku tak pernah benar-benar tahu apa yang hatiku mau.
Pikiranku tidak pernah sampai pada apa yang sebenarnya dititipkan semesta kepadaku – yang orang kenal dengan kata ‘bakat’.

Aku tak punya bidang ilmu yang kucintai secara mendalam, semua berubah-ubah sejalan dengan usia.

Namun siapa sangka justru orang lainlah yang lebih paham tentang diriku.

Dan – inilah asal muasal dari semuanya.
Sebelum mengenal tulisan aku lebih dulu belajar desain. Tentu tidak sendiri. Diawal aku sudah mengatakan bahwa: cita-citaku bergantung pada siapa aku bertemu.
Dan kebetulan sosok yang sering mencul di tengah hidupku adalah Kak Fasta (
Kang Fastabiqul Khoirot
) – yang dari awal kukenal sebagai seorang yang seharinya bongkar pasang computer dan pramuka.

Suatu ketika – di antara sela cahaya surya yang sudah tunduk ke barat.
Kami masih asyik menghadap sebuah monitor yang menampilkan gambar sebuah desain sampul buku 3 dimensi. Secara iseng Kak Fasta menuliskan nama beserta tajuk buku di sampul itu. Kemudian aku mengikutinya.

Kami cekikian ... membayangkan ‘betapa sangarnya diri kami’ ada sebuah desain sampul buku yang memuat nama kami.
Malam pun tiba dan cerita tentang sampul buku itu habis ditelan gelap.
***

Selang kurang dari satu bulan – Kak Fasta menawarkan sebuah kegiatan yang akan membuat orang bisa punya buku. Sambil memberi keterangan bahwa belajarnya Online.

SUWERRR!!!

Aku awalnya gak paham sama sekali.
Bayanganku saat itu hanya ‘Kak Fasta begitu yakin mau ikut dan aku gak mungkin nolak ajakannya’ – karena sialnya posisiku saat itu betul-betul tidak strategis.

Dia adalah guruku. Jadi secara otomatis kena pasal ‘pantang nolak perintah seorang guru’.
Jujur aku setengah hati dengan ajakan kak Fasta yang masih tak anggap sebagai sebuah ‘kegiatan.’ Apalagi kegiatan online.

Saat itu aku belum pernah belajar lewat online – jadi sangat meregukan sekali. Untung aku menaruh yakin kepada kak Fasta seratus persen. Pokoke Manut, sendiko dawuh!
Hal semacam pendaftaran lewat wa, ngisi formulir, dan lain sebagainya. Saya selalu dipandu kak Fasta. Zaman dulu yang bertindak sebagai admin masih Mas Bagus (
Agus Ibrahim
).
Aku hanya melaksanakan apa perintah kak Fasta. Contoh Admin meminta mengisi biodata. Aku tidak gerak kalau tidak kak Fasta sendiri yang memberi ultimatum.
***
JUJUR!
Sepanjang kelas aku tidak pernah ikut. Karena waktu pembelajaran online yang malam hari bertepatan dengan Ngaji Diniyah.

Bahkan aku sering tidak absen, kecuali disamperi Kak Fasta ke pondok dan disuruh absen. Baru aku izin keluar kelas dan absen.

Aku sama sekali tidak perduli telat, tidak absen, tidak tanya, dianggap tidak aktif dll. Karena aku selalu tidak ikut pembelajaran. ‘Anggapanku yang lugu – lebih penting diniyah dari pada mendengi Hape’.

Tapi kak Fasta yang super perhatian dan super ketat pengawalan selalu mengingatkan. Setiap sore aku mendapat japri. ‘Coba woco materi kemaren, persiapno satu pertanyaan.’

Barulah aku timik-timik menyiapkan satu pertanyaan. Itupun selalu gagal kukirim – karena di dalam grup wa itu aku merasa asing. Diri ini lebih dikuasai rasa minder.

Akhirnya kak Fasta lagi yang ke bobohan harus ke pondok dan memerintahkan secara langsung aku untuk bertanya. Hahah .... barulah malam itu aku bertanya, tentu dengan pertanyaan yang sangat tidak berbobot.

Kegiatan yang setengah hati aku jalani. Pada saat sudah setengah perjalanan – memasuki praktek menulis cerpen. Aku baru ngeh dan masuk di otakku. Kegiatan online itu namanya ‘SMO’. (
Smo Mitra Karya
)

Sejak praktek nulis cerpen kak Fasta lebih sering mengajakku keluar, diceramahi sambil diajak jajan.
Diwarahi strategine buat menyelesaikan tugas – pokoknya dibimbing secara intens. Betul-betul dikawal.

Karena sebelumnya aku tidak pernah baca buku. Apalagi buku cerpen. Aku tak punya banyak ide untuk ditulis. Kan ‘problem lagi?’.
Zaman dulu lebih banyak membaca naskah teater – zaman lagi naik daunnya teater kami ‘Teater Adiluhung’

Akhirnya yang kutulis adalah ceritaku sendiri yang aku ingat dan menurutku memenuhi syarat:
ada awalan – konfilik – dan penyelesaian.
****

Hah nyatanya tak mudah, tulisan yang kuketik selama tiga hari. Setelah menghadap ke pembimbing 95% berwarna kuning. Mau putus asa takut dosa, soale aku melihat Kak Fasta begitu semangat dan yakin aku bisa.

Akhirnya mau tidak mau, semalam suntuk aku betulkan naskah itu dengan panduan footnote dari pembimbingku. (Aku menyebutnya pembimbing, karena tidak hafal namanya. Bagiku dulu nama Gus
Adly Al-fadlly Usmunie
terlalu sulit untuk diingat).

Setelah melewati ping-pong beberapa kali, akhirnya naskah masuk ke admin meski tetep ujung-ujungnya admin yang memperbaiki. Admin SMO 1 belum seketat dan sedisiplin angkatan berikutnya. (Atau memang sayanya yang tidak bisa didisplinkan, ah?)
***


Singkat cerita lahirlah sebuah buku dengan ada namaku disampulnya. Bahagia? Bahagia sekali?
Rasanya seperti berjuang gak tenanan tapi menang.

Namun tetaplah Admin mencatat semua usaha para peserta – dan namaku diurutan hanya beberapa angka dari juara terakhir. Beda dengan Kak Fasta yang masuk 10 besar.
(Ah kalau aku mengingat cerita iku, wes mbuh!)

Nyaliku semakin ciut lagi saat tahu-tahu ternyata dari SMO 1 ada dua peserta yang menerbitkan buku solo. Wah sudah! Aku semakin merasa tertinggal dan tak punya daya mengejar.

Namun Kak Fasta yang punya sejuta cara untuk menunjukan kepada jalan yang benar bagi anak didikanya. Mengajakku sowan ke penyelenggara SMO. Aku dulu kurang tahu persis alamatnya – pokoknya aku menyebitnya di Rengel.

Ajaib! Setelah bertemu dengan Mas Bagus dan Istrinya. Ada sebuah gairah baru – namun aku belum tahu persis menyebutnya apa. (Nama Bu Rizka juga belum klik! Masuk di otak saat itu)

Kak Fasta terlibat perbincangan yang jauh dengan Mas Bagus dan Istrinya. Sedangkan aku hanya bicara saat ditanya Mas Bagus.

Mas Bagus begitu semangat menunjukan buku-buku, meyakinkan bahwa menulis itu mudah, menceritakan kiprah kepenulisan beliau.
Rasaku semakin jelas bahwa – Aku juga ingin menulis.

Maka saat pulang dari rumah Mas Bagus aku membawa semacam sesuatu yang baru – Gairah membaca dan mencoba menulis.

Dengan tetap dalam pengawasan Kak Fasta yang ketat dan bimbingan jarak jauh oleh Mas Bagus. Aku mulai baca-baca dan mencoba kembali menulis (Sebenarnya dulu zaman SMA aku sempat masuk extra jurnalistik dan sudah pernah bersinggungan dengan kegiatan membaca dan menulis. Tapi itu tidak lama, lenyap saat guru Bahasa Indonesiaku pindah tugas ke Lamongan. Sejak itu aku masuk di dunia Teater).



HIKMAH:
Ada rahasia-rahasia yang pada akhirnya dibuka oleh waktu.
1. Ternyata dibalik kak Fasta yang intens mengawal aku untuk ikut SMO. Beliau sudah mempertimbangkan secara matang – ini akan menjadi jalanku. Bahkan kak Fasta lebih memahami bahwa kau 'mampu', dibanding diriku sendiri.
2. Ternyata dibalik ketidakseriusanku mengikuti SMO, nyatanya keikhlasan dan doa-doa para Guru SMO mampu menyentuh hatiku yang kaku. Di titik inilah aku menyakini – dari luasnya penyesalan karena tidak sungguh-sungguh saat belajar dulu. Aku masih punya satu jalan ‘ngalap berkah guru-guru’.
3. Ternyata SMO Membuka banyak pandanganku. Baik tentang ilmu tulis menulis, cara belajar online, menghidupi literasi pesantren, dan mencintai buku. (Mencintai buku! inilah dasar paling awal – paling awal. Aku mengenal ilmu-ilmu yang tersirat dalam sebuah cerita. Hariku di pondok semakin berwarna)
4. Ternyata aku membutuhkan pertemuan secara langsung untuk membangun ikatan dalam diriku. Aku sangat bersyukur dengan adanya ‘SILATNAS’ ini. Semoga orang-orang semacamku, yang tidak pandai bergaul bisa membuka hati dan pikiran. Saling menanam benih percaya diri dalam literasi.
Akhir kata, banyak lagi yang aku dapatkan dari hidup ‘yang pintu gerbangnya terbuka dari SMO’
Salam
Alief Irfan SMO 1

Komentar